Pernah
berpikirkah anda bahwasanya desa yang di sidoarjo terdapat desa yang sangat
tua, pada saat itu pernah mengalami peradaban yang maju yakni produksi batik
sejak dulu sebelum masa penjajahan. Tapi mengapa pada waktu ini seakan akan
desa tersebut seakan-akan bukanlah desa yang memproduksi batik dahulunya.
Desa
kedungcangkring merupakan desa yang terkenal dengan sebutan desa santri, karena
dalam desa tersebut sejak dahulu sampai sekarang banyak sekali di temui pondok
pesantren dan juga majlis ta’lim yang membahas tentang ilmu-ilmu agama dan juga
sudah terkenal di kalangan para peneliti akademisi bahwa desa kedungcankring
merupakan desa santri, mengenai jumlah pondok pesantren di daerah
tersebut terdapat 4 pondok pesantren, namun perlu di perhatikan dalam satuanya
pondok pesantren tersebut terdapat cabang-cabangnya antara lain sebagai berikut:
- Pondok Pesantren Roudlotul Muta’alimin Muta’alimat
- Roudlotul Muta’alimin I ( pondok induk )
- Ar-Roudloh (Muta’alimin II )
- Darus Salam (Muta’alimin III )
- Roudlotul Muta’alimat I
- Roudlotul Muta’alimat II
- Al-Machfudzoh ( Muta’alimat III )
- PP.Baitul Hikmah (putra-putri)
- PP Darun Najah (putra-putri)
- PP As-Syafi’I (putra-putri)
Dan juga terdapat beberapa majlis ta’lim sekitar 4, di mana
murid atau santrinya merupakan orang kampung itu sendiri atau alumni yang pernah mondok di salah satu pesantren
yang telah di sebutkan di atas antara lain:
Al-machfudzoh di mushallah mutaalimin I
- Ar-Roudloh di Mushallah Ar-Roudloh
- Al-Hikmah di pondok pesantren Al-Hikmah
- As-Syafi’I di masjid
- Dan di mushallah-mushallah
Hal ini sudah
bermula sekitar tahun 1889 masehi, di desa kedungcangkring telah berdirih
sebuah majelis ta’lim, di mana pada saat itu masih belum di beri nama atau
bahkan masih belum merupakan pemondokan bagi santri yang bermukim hanya saja
pada saat itu banyak santri-santri yang berasal dari daerah kedungcangkring
sendiri yang jumlahnya saat itu hanya sekitar 25 orang santri. Sementara pondok
pesantren masih belum di beri nama, posisi pondok pesantren kyai asfiya’ juga
di untungkan oleh posisinya desa kedung cangkring sebagai kampung batik. Konon
menurut cerita yang memulai merintis tradisi batik sebagai mata pencaharian
sehari-hari masyarakat adalah komunitas tionghoa.
Perjalanan desa kedung
cangkring sebagai kampung batik juga sebagai kota santri hubunganya erat
sekali. Mengingat pada waktu itu beberapa juraga batik atau orang kaya di desa
tersebut rata-rata adalah pejuang agama, Itulah sekelumit
gambaran masyarakat kedung cangkring pada zaman dahulu. Hubungan sinergitas
antara ulama dan pengusaha berjalan harmonis, saling melengkapi, saling mengisi
bukanlah mempolitisi seperti era belanda. Itulah sebabnya setiap elemen
masyarakat, baik ulama, pengusaha maupun masyarakkat biasa duduk istiqomah pada
tempatnya masing-masing. Karna ulama pada masa ini tetap istiqomah pada
tempatnya sebagai pengayom, pembimbing umat. Harmonisasi demikianlah pada era
kyai aruqot sampai kyai chayyun begitu terasa.
Banyak para
kyai-kyai yang alumni dari pondok tersebut seperti kyai sofwan di pamotan
porong sidoarjo, kyai shahid pemimpin toriqoh kecamatan paceng dan masih banyak
lainya, banyak hubungan santri pondok dan desa kepada para kyai, contoh salah
satu sesepuh almarhum kyai ahmad aruqot yang merupakan pendiri pondok pesantren
pertama di desa tersebut kehidupanya amat senderhana, misalkan ketika seorang
kyai mendidik santri untuk hidup senderhana, dalam hal ini kyai ahmad aruqot
biasanya selalu mengeluarkan zakat tijaroh, menjaga makanan hingga yang masuk adalah
rizqi yang halal saja atau lagi menurut salah satu kyai yang merupakan cucu dari kyai ahmad tersebut yaitu
kyai muharror setiap kali panen kyai ahmad aruqot tidak langsung memesukan
gabahnya kedalam lumbung padi sebelum gabah tersebut di zakati. Jadi setelah
gabah-gabah itu terkumpul kemudian di taruh di pintu lumbung padi di teruskan
kyai ahmad aruqot mengumpulkan para tetangga atau orang-orang yang wajib
menerima zakat, setelah gabah tersebut di zakati barulah gabah-gabah tersebut
di masukan kelumbung padi.
Para kyai zaman
dahulu seperti kyai ahmad aruqot, kyai chayyun, kyai asif, kyai siroj kholil,
gus bakar dan banyak yang lainya, mereka memberi contoh yang baik pada santri
dan masyarakat seperti dalam hal keistiqomahanya mereka mengajar atau mutholaah
ktab semua warga santri tahu jadwalnya setiap kali mereka pergi kemasjid, pergi
thoriqoh, muthola’ah kitab pada jam 23.00-01.00, waktu marung semua warga tahu
hampir kebiasaan kyai-kyai yang nyeleneh seperti kyai chayyun apabila tiap pagi
atau tiap jalan-jalan ia selalu membawa uang receh koin dan memakai sandal
bengkiak yang jadi pada waktu berjalan selalu kedengaran suara nyari koin
tersebut dan pada waktu itu juga ada anak-anak kecil mengerubuginya maka di
kasihilah si anak semua anak kecil tersebut dan kepada para pengemis yang ia
temui di pinggir jalan sampai uang koin itu habis, misal lagi mbah ud wali di
sidoarjo dulunya senang datang kekedung cangkring saat di tengah-tengah
pengajian, wali tersebut langsung memasuki majlis ta’lim tersebut dan langsung
bertatap hadapan muka dengan jarak yang dekat antar si pengajar dengan mbah ud
dan mbah ud menggodanya perlu di ketahui mbah ud tidak pernah memakai alas
sepatu jadi setiap masuk mushallah atau masjid pun tidak pernah bersuci entah
bagaimana hukumnya karena mbah ud ini merupakan waliyullah maka semuanya diam
saja.
Desa kedungcangkring yang
dahulunya penuh akan santri utamanya banyak pedagang batik. Namun pada waktu
sekarang ini mulai hilang terutama usaha batik di desa tersebut di mana
dahulunya desa yang terkenal dengan pembuat batik dan sekarang tidak dan yang dahulu usaha-usaha batik sekarang
hilang dan kalau orang menganggap bahwasanya kalau desa kedungcangkring
merupakan kampung kebanyakan orang tidak akan percaya karena kondisi yang
mencerminkan tidak adanya usaha batik di desa tersebut.
SEJARAH DESA
KEDUNGCANGKRING
Desa
kedungcangkring merupakan desa yang sangat tua di daerah perbatasan antara
wilayah sidoarjo dengan pasuruan, hal ini terbukti dahulu kala sebelum zaman
kemerdekaan atau zaman sebelum penjajahan dulu desa kedung cangkring ini sudah
ada dan desa ini biasa di sebut desa pecinan yaitu desa di mana banyak suku
pedatang dari cina, gujarat, tionghoa atau dari mongol. Di karenakan dahulunya
daerah ini merupakan daerah pesisir banyak kapal pedagang lewat daerah ini atau
singgah di daerah ini. Desa kedung
cangkring ini dahulunya merupakan desa pasar batik atau desa pusat batik karena
para pedagang asing singgah di sini biasanya selain membeli rempah-rempah juga
batik. Adapun batik-batik yang berasal dari lamongan dan blitar atau daerah
jawa tengah asalnya dari daerah sini.
Sebagaimana
lazimnya yang terjadi pada masyarakat dahulu, yang menjadikan sungai sebagai
media transportasi di mana masyarakat menyebutnya sebagai budaya sungai, dengan
kata lain desa kedungcangkring merupakan desa yang sangat tua yang berada di
kabupaten sidoarjo.
Ciri-ciri apakah desa
tersebut merupakan desa tua bisa di lihat dari adanya bangunan khas rumah yang
masih tersisah atau yang di wariskan kepada anak cucunya, jarak antara rumah
yang satu denga rumah yang lainya berdempet-dempetan dan sangat padat di
samping itu ada beberapa rumah yang kelihatan umurnya tua motifnya ada yang
seperti rumah warga tionghoa
Rumah Khas
Tionghoa
|
Tempat pencucian malam batik |
ASAL MULA DESA
SANTRI
Berawal dari kyai
yang bersejarah dan amat di segani yaitu kyai achmad aruqot, lahir di
kedungcangkring sekitar tahun 1885 M dari seorang keluarga yang juga merupakan
seorang kyai. Ayahnya kyai ahmad aruqot
adalah seorang kyai yang bernama kyai asfiya’, perintis majlis ta’lim yang konon
akan menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren roudlotul banin, sebuah
pesantren yang megukir sejarah pendidikan agama serta pembentukan moralitas
santri warga masyarakat kedung cangkring.[1]
Ada yang mengatakan wilayah strategis melalui jalur transportasi Kali Brantas
(Sungai Porong) menuju Surabaya, Madura, dan Pasuruan, zaman dulu dari turun
temurun terus yang melahirkan
tokoh dan kiai besar. Sebagian masyarakat menyebut Kedungcangkring sebagai ”Kota
Santri”. Beberapa kiai yang lahir di Kedung Cangkring dan terkenal pada
zamannya, di antaranya adalah KH Siroj Kholil, mempunyai anak KH A. Rofiq
Siroj, kini Rois Suryah PC NU Sidoarjo. Juga ada KH Arruqot, seorang ulama yang
cukup terkenal pada zamannya. Mempunyai menantu KH Hayyun, ia mempunyai anak KH
Charor, kini pengasuh Pondok Pesantren Arraudloh, dan ada lagi yang merupakan
cucu dari KH Arruqot dan sekaligus menantu dari keturunan sunan ampel Surabaya yakni agus
shobahus surur Kedung Cangkring.
Bahkan,
dulu sekitar tahun 1980-an, di Kedung Cangkring ada seorang ulama biasa, tetapi
terkenal sebagai ahli istikharoh. Ia adalah Kiai Khusnan, yang akrab
disapa Pak Khusnan. Dikatakan ulama biasa, karena sehari-harinya ia bekerja mbatik
pada mertuanya, KH Asmuni Umar, H Jamian. KH Asmuni, adalah mantan Ketua PC
NU Sidoarjo, sebelum KH Abdy Manaf. Menurut cerita KH Asmuni, sosok Pak
Khusnan, selain sehari-hari bekerja sebagai pembatik, ia banyak dimintai tolong
masayarakat sekitar untuk mengistikhorohkan sesuatu.
Sebelum lahir pemikiran KH Ahmad Siddiq tentang perlunya
NU kembali ke Khittah 1926, kondisi NU begitu menegangkan. ”Terjadi kebuntuan
komunikasi politik yang begitu hebat antara kubu KH Idham Kholid (Ketua Umum PB
NU waktu itu), yang menghendaki NU menjadi partai politik dan kubu KH As’ad
Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Salafiyah Syafiiyah Asembagus, Situbondo) yang
menghendaki NU kembali ke khittah. Nah, di tengah-tengah kebuntuhan itulah, KH
Mujib Ridwan (Surabaya), anak dari KH Ridwan Abdullah (pencipta lambang NU),
menemui Pak Khusnan, untuk meminta tolong istikhoroh atas persoalan NU yang
tidak menentu,” cerita Kiai Asmuni.
Dalam sejarah desa ini kami memaparkan tentang
perpolitikan yang di nuasai dengan ke-NU-an karna kebanyakan masyarakat
mengikuti politik NU dan inilah yang sangat melekat pada warga sampai-sampai
banyak seragam batik NU yang di buat dari batik asli desa kedungcangkring
menurut kebanyakan para warga dan para santri yang tua dahulu.
PERKEMBANGAN
PESANTREN DAN BATIK
Pada sekitar
tahun 1889 masehi, di desa kedungcangkring telah berdirih sebuah majelis
ta’lim, di mana pada saat itu masih belum di beri nama atau bahkan masih belum
merupakan pemondokan bagi santri yang bermukim hanya saja pada saat itu banyak
santri-santri yang berasal dari daerah kedungcangkring sendiri yang jumlahnya
saat itu hanya sekitar 25 orang santri.
Pendiri dari pada
majlis ta’lim tsb seorang ulama’ bernama
kyai Asyfiyak. Setelah kurang lebih 5 tahun berjalan majelis ta’lim tsb semakin di kenal, baik oleh pendukung
setempat atau orang-orang di luar daerah sehingga dengan demikian banyakah
orang-orang muda yang datang kek ked.cangkring guna menuntut ilmu pengetahuan
khususnya pengetahuan agama di majlis ta’lim tersebut. Di antara mereka berasal
dari jawa tengah, kudus dan daerah setempat yang kemudian bermukim di kedung
cangkring, sehingga dengan demikian terbentuklah sebuah pondok pesantren dengan
jumlah santrinya kurang lebih 60 orang. Sementara pondok pesantren masih belum
di beri nama, posisi pondok pesantren kyai asfiya’ juga di untungkan oleh
posisinya desa kedung cangkring sebagai kampung batik. Konon menurut cerita
yang memulai merintis tradisi batik sebagai mata pencaharian sehari-hari
masyarakat adalah komunitas tionghoa.
Santri kyai
asfiya’ tidak murni ngaji sebagaimana layaknya pondok pesantren, beberapa orang
yang datang ke kedungcangkring mula-mula bekerja sebagai tukang batik kemudian
mondok di pesantren yang didirikan kyai asfiya’, setelah mengetahui di
kedungcangkring ada pondok pesantren maka sekalian mereka modok di sana. Hingga
tahun 1928 perjalanan pondok pesantren belum di beri nama. Pada tahun tersebut
putra kyai asfiya’ yang bernama kyai muchyiddin sudah mulai membantu mengajar
di pondok pesantren tersebut, paska pulangnya dari pondok pesantren mbah kholil
di bangkalan madura hingga setelah menunaikan ibadah haji nama kyai muchyidin
di ganti kh.ahmad aruqot. Tradisi merubah nama paska menunaikan ibadah haji ini
merupakan tradisi yang umum di kalangan keluarga para kyai di jawa contoh saja
yang perna kita lihat di film sang pencerah pergantian nama kyai ahmad dahlan,
dan murid-muridnya.
Setelah wafatnya
kyai asfiya’ kepemimpinan pondok di teruskan oleh kyai muchyidin dalam hal ini
beberapa selang tahun pondok mengalami kemajuan besar saja hingga santrinya pun
bertambah banyak ada yang datang dari daerah tulung agung, lamongan, gresik dan
blitar meski bangunan-bangunannya masih sangat senderhana, kyai zaman dahulu
tidak mementingkan bangunan fisik pesantren namun yang di utamakan adalah
membangun mental moralitas santri-santrinya baik yang ada di pondoknya maupun
warga masyarakat kedung cangkring, kyai zaman dahlu tidak gampang mau menerima
uang dari pemerintah kyai dahulu sangat selektif dalam rangkah mencari uang
yang masuk untuk kepentingan pesantren, kyai dahulu lebih mementingkan
keberkahan hidup dan nirakati santri-santrinya.
Tempat mayoritas pedagang batik
|
Perjalanan desa
kedung cangkring sebagai kampung batik juga sebagai kota santri hubunganya erat
sekali. Mengingat pada waktu itu beberapa juraga batik atau orang kaya di desa
tersebut rata-rata adalah pejuang agama, salah satu contohnya Dulu seorang
ulama’ bernama kyai chayyun menetap di kedung cangkring sebagai menantu kyai
ahmad aruqot memulai usaha dengan menjadi pengusaha batik, banyak yang memberi
bantuan modal kepadanya seperti H.jamiin, H.mubin, dan para pengusaha atau
orang kaya lainya, namun karena kyai chayyun bukanlah fak pedagang maka disuruh
berhenti dan di suruh berkonsentrasi pada pengelolaan pondok pesantren yang
kyai ahmad aruqot dengan gantinya para pengusaha senantiasa mencukupi kebutuhan
kyai chayyun yang mengelolah pondok.
Itulah sekelumit
gambaran masyarakat kedung cangkring pada zaman dahulu. Hubungan sinergitas
antara ulama dan pengusaha berjalan harmonis, saling melengkapi, saling mengisi
bukanlah mempolitisi seperti era belanda. Itulah sebabnya setiap elemen
masyarakat, baik ulama, pengusaha maupun masyarakkat biasa duduk istiqomah pada
tempatnya masing-masing. Karna ulama pada masa ini tetap istiqomah pada
tempatnya sebagai pengayom, pembimbing umat. Harmonisasi demikianlah pada era
kyai aruqot sampai kyai chayyun begitu terasa.
Desa kedung
cangkring merupakan desanya para kyai, karna menurut banyak orang bahwasanya
banyak kyai-kyai lulusan dari pondok desa kedung cangkring, terutama pada
alumnus pondok pesantren roudlotul mutaa’limin muta’alimat. Dalam hal ini
pernah di tuturkan oleh banyak beberapa santri atau beberapa kyai “barang siapa
yang nyantri di sini nanti setelah pulang kerumah minim-minimnya jadi mudin”
hal ini merupakan ungkapan yang tak asing lagi di desa tersebut perkataan ini
sudah ada sejak dulu oleh sesepuh bapak para kyai desa tersebut yaitu KH.Ahmad
Aruqot.
Banyak para
kyai-kyai yang alumni dari pondok tersebut seperti kyai sofwan di pamotan
porong sidoarjo, kyai shahid pemimpin toriqoh kecamatan paceng dan masih banyak
lainya, banyak hubungan santri pondok dan desa kepada para kyai, contoh salah
satu sesepuh almarhum kyai ahmad aruqot yang merupakan pendiri pondok pesantren
pertama di desa tersebut kehidupanya amat senderhana, misalkan ketika seorang
kyai mendidik santri untuk hidup senderhana, dalam hal ini kyai ahmad aruqot
biasanya selalu mengeluarkan zakat tijaroh, menjaga makanan hingga yang masuk
adalah rizqi yang halal saja atau lagi menurut salah satu kyai yang merupakan cucu dari kyai ahmad tersebut yaitu
kyai muharror setiap kali panen kyai ahmad aruqot tidak langsung memesukan
gabahnya kedalam lumbung padi sebelum gabah tersebut di zakati. Jadi setelah
gabah-gabah itu terkumpul kemudian di taruh di pintu lumbung padi di teruskan
kyai ahmad aruqot mengumpulkan para tetangga atau orang-orang yang wajib
menerima zakat, setelah gabah tersebut di zakati barulah gabah-gabah tersebut
di masukan kelumbung padi.
Para kyai zaman
dahulu seperti kyai ahmad aruqot, kyai chayyun, kyai asif, kyai siroj kholil,
gus bakar dan banyak yang lainya, mereka memberi contoh yang baik pada santri
dan masyarakat seperti dalam hal keistiqomahanya mereka mengajar atau mutholaah
ktab semua warga santri tahu jadwalnya setiap kali mereka pergi kemasjid, pergi
thoriqoh, muthola’ah kitab pada jam 23.00-01.00, waktu marung semua warga tahu
hampir kebiasaan kyai-kyai yang nyeleneh seperti kyai chayyun apabila tiap pagi
atau tiap jalan-jalan ia selalu membawa uang receh koin dan memakai sandal
bengkiak yang jadi pada waktu berjalan selalu kedengaran suara nyari koin
tersebut dan pada waktu itu juga ada anak-anak kecil mengerubuginya maka di
kasihilah si anak semua anak kecil tersebut dan kepada para pengemis yang ia
temui di pinggir jalan sampai uang koin itu habis, misal lagi mbah ud wali di
sidoarjo dulunya senang datang kekedung cangkring saat di tengah-tengah
pengajian, wali tersebut langsung memasuki majlis ta’lim tersebut dan langsung
bertatap hadapan muka dengan jarak yang dekat antar si pengajar dengan mbah ud
dan mbah ud menggodanya perlu di ketahui mbah ud tidak pernah memakai alas
sepatu jadi setiap masuk mushallah atau masjid pun tidak pernah bersuci entah
bagaimana hukumnya karena mbah ud ini merupakan waliyullah maka semuanya diam
saja.
Mubin
menyebut, batik di Kedung Cangkring, bahkan pernah terkenal se Indonesia.
”Dulu orang Pekalongan itu belajar batiknya juga dari Kedung Cangkring. Sekitar
tahun 1956 saya pernah ke Pekalongan melihat pasar Batik. Di sana saya ketemu
beberapa orang tua di Pekalongan. Ia cerita perihal pengalamannya belajar
Mbatik di Kedung Cangkring. Bahkan sampai Pekalongan terkenal sebagai kota
batik, sesungguhnya belajarnya di Desa Kedungcangkring,” paparnya.
Meski banyak
peristiwa penting terjadi di Kedung Cangkring, namun sampai saat ini, siapa
tokoh yang Mbabat Desa Kedung Cangkring masih tersaput misteri. Itu bisa
dimaklumi karena peristiwa – peristiwa penting yang terjadi di Kedung Cangkring
umurnya sangat tua, diperkirakan tahun 1300 an akhir. H. Mubin hanya menyebut
asal kata Kedung Cangkring berdasarkan makna bahasa atau menurut musyawarah di
pondok pesantren roudlotul muta’aliamin yang merupakan pondok yang sangat tua
dalam acara pertemauan alumni muai dari angkatan pertama sampai akhir dengan di
hadiri KH.Muhaimin aruqot yang merupakan anak dari KH.Achmad aruqot tersebut
dalam bahasan materi halaqoh atau sarasehan biografi KH.Achmad aruqot mengatakan
bahwa semua bukti yang telah tertulis dalam materi tersebut benar namun hal itu
terungkap hanya batas pada zaman KH.Achmad aruqot tersebut.
Ada hal yang menarik dari salah
satu sekolah yang ada desa kedung cangkring ini yaitu sekolah SMP/SMA avisena,
awalnya sekolahan tersebut bernama madrasah Mu’allimin-Mu’allimat yang di ambil
dari nama pondok pesantren yang pertama di desa tersebut yang di ajar oleh para
kyai desa tersebut KH.Muharor Chayyun salah satunya dan sekolah tersebut merupakan
satu-satu sekolah madrasah di Kecamatan Jabon (dan sekitarnya). Mengalami
kemajuan yang cukup pesat, hingga ruang kelas yang tersedia tidak dapat
mencukupi banyaknya jumlah siswa yang belajar. Karena semakin banyaknya siswa
dan kapasilitas lokal kelas yang sangat minim, walhasil dari sekian siswa yang
ada sebagian besar mengikuti pelajaran di rumah-rumah penduduk (Desa
Kedungcangkring). Tidak lain
yang menjadi motivasi masyarakat Kedungcangkring adalah untuk mewujudkan
kualitas pendidikan generasi muslim di lingkungan Desa Kedungcangkring dan
sekitarnya dalam menghadapi gempuran peradaban yang semakin memprihatikan.
Pada awal pembangunan gedung sekolah (kelas) banyak masyarakat
yang memberikan sumbangannya dengan berbagai macam bentuk material, antara
lain, batu bata, gentheng, pasir, dll, yang dikumpulkan di depan masjid An Nur.
Dua tahun kemudian, dibentuklah panitia pelaksana pembangunan gedung sekolah
yang dipimpin oleh KH Abdul Latief, dan KH Siroj Kholil - Kiai Hayyun sebagai
penasehat.
Selanjutnya, pada awal tahun 60-an, proses pembangunan gedung sekolah cukup terbantu oleh koperasi pengrajin batik atau yang disebut dengan BKBI (Badan Koperasi Batik Indonesia). Melalui dorongan yang dilakukan oleh asosiasi pengrajin batik Desa Kedungcangkring, akhirnya BKBI memberikan bantuan dana yang cukup guna mencukupi pembiayaan bangunan gedung sekolah.
Meskipun masih banyak kelemahan dan kekuarangan, proses
pembanguna gedung sekolah AVISENA mendatangkan arsitek dari Singosari, Malang,
KH Abdul Aziz. Mulanya gedung sekolah dibangun di atas tanah yang dibeli oleh
warga Desa Kedungcangkring. Lokasinya di sebelah selatan sungai Porong (sebelah
dam Desa Kedungcangkring). Namun, proses pembangunan belum kelar 100% pengurus
mau tidak mau harus membongkar bangunan sekolah karena berbenturan dengan
proyek pelengsengan kali porong oleh proyek dari dinas pengairan Pemprov Jatim.
Setelah
melakukan negosasi panjang tentang ganti rugi tanah dan bangunan, bangunan gedung sekolah
AVISENA diletakkan di sebelah timur Desa Kedungcangkring (lokasi sekarang).
KEMUNDURAN KAMPUNG BATIK DAN SANTRI
Desa
kedungcangkring merupakan desa yang terkenal dengan kampung batik dan desa
santri seperti yang terlihat di atas bahwasanya desa ini penuh sejarah dengan
kampung batik dan pesantren yang tidak bisa di lepaskan keberadaanya seperti
budaya, peran dan hal lain yang membangun desa tersebut. Tapi mengapa pada era
masa kini budaya batik di desa santri sudah tidak ada atau bahkan kalau orang
menganggap tidak mungkin kalau desa tersebut merupakan desa batik banyak
pedagang dan pembuat batik dan juga merupakan pusat peradaban batik yang tak
bisa di lepaskan dalam budaya batik indonesia seperti yang kami cuplik di
internet yang ada kaitanya dengan batik yang menyangkut batik tersebut :
Diceritakan
bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang
tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang
bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluarga kerajaan
Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang
bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah
pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan
Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad
ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto,
bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan
obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat
luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh
pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan
masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan
pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo,
Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai,
dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak
dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena
pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan
pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu
pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul
lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Dari cuplikan cerita di atas di mana desa kedungcangkring
jabon sidoarjo memang terbukti daerah pasar batik atau dampak dari awalnya
penjualan obat-obatan dari cina dan hal itu tak lepas dari sejara mojokerto
serta bangil yang merupakan arus jalan air sungai brantas dan tak diragukan
lagi bahwasanya banyak orang bangil sekarang arab atau tionghoa begitu juga
desa kedung cangkring penduduknya dahulu. Namun yang paling menjadi sorotan
penti mengapa terjadi kemunduran batik dan santri di desa kedungcangkring,
adapun alasan-alasan dari banyak sekian warga antara lain sebagai berikut:
- Banyak para pedagang batik yang tidak laku jual batiknya akhirnya mereka para pedagang batik satu demi satu mereka menutup usaha batik mereka dan hampir atau yang terakhir itu batik masih ada pada tahun 1990 setelah itu hilang entah kemana, di katakan dari sebagian warga keanyakan mereka pindah tempat seperti surabaya untuk menjual batik hasil buatanya.
- Di samping tidak lakunya batik ini juga di pengaruhi oleh orang cina yang bertempat di surabaya yang bernama Tai Shin. Tai shin juga merupakan pedagang batik tapi ia bukan pembuat selayaknya orang-orang kedungcangkring membuat dengan berbagai proses seperti menggambar, memalami, mewarnai, melunturkan malah sampai jadi batik yang indah dan bersejarah di indonesia, yang di lakukan oleh tai shin ialah memborong kebanyakan batik yang berasal dari desa kedungcangkring lalu gambarnya di copy lalu di cetak dengan alat-alat yang modern agar lebih banyak dan lebih cepat hasil produksinya sehingga dapat menghasil laba yang melimpah, dari sinilah batik di desa kedungcangkring tidak laku dan akhirnya menghilang
- Para pemuda dan pemudi di desa kedungcangkring tersebut tidak mau belajar dan melestarikan budaya batik di desa tersebut akhirnya budaya tersebut punah pada masa anak-anak mereka.
Dahulu kala banyak santri yang mondok di desa
kedungcangkring karena pondok yang pertama ada di daerah porong sidoarjo,
gempol adanya bertempat di desa kedungcangkring yang bernama Roudlotul banin
(Roudlotul muata’alimin muta’alimat), adapun perkembanganya seperti yang
tertera di atas antarralain:
Pada sekitar
tahun 1889 masehi, di desa kedungcangkring telah berdirih sebuah majelis
ta’lim, di mana pada saat itu masih belum di beri nama atau bahkan masih belum
merupakan pemondokan bagi santri yang bermukim hanya saja pada saat itu banyak
santri-santri yang berasal dari daerah kedungcangkring sendiri yang jumlahnya
saat itu hanya sekitar 25 orang santri.
Setelah kurang
lebih 5 tahun berjalan majelis ta’lim
tsb semakin di kenal, baik oleh pendukung setempat atau orang-orang di
luar daerah sehingga dengan demikian banyakah orang-orang muda yang datang kek
ked.cangkring guna menuntut ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan agama di
majlis ta’lim tersebut. Di antara mereka berasal dari jawa tengah, kudus dan
daerah setempat yang kemudian bermukim di kedung cangkring, sehingga dengan
demikian terbentuklah sebuah pondok pesantren dengan jumlah santrinya kurang
lebih 60 orang.
Dan dari tahun
ketahun pondok tersebut semakin bertambah banyak santrinya dan juga muncul
pondok-pondok kecil seperti baitul hikmah, as-syafiyah, darunnajah dan lainya,
di mana pada era tahun 2000 santri yang bertempat tinggal di desa kedung
cangkring tersebut sekitar +1700 santri yang atau sampai mencapai 2300
santri yang bertempat tinggal di desa tersebut.
Baru setelah
adanya bencana semburan gas lapindo, dengan adanya isu-isu dampak dari adanya
semburan lapindo yaitu akan terjadi amblesnya tanah yang menenggelamkan
daerah-daerah di sekitar lapindo seperti porong, tanggulangin, jabon, kedungcangkring,
padukuhan dan desa-desa kecil yang di sekitarnya, maka banyak orang-orang yang
khawatir memondokan anak-anaknya di daerah tersebut takut terjadi bahaya yang
menimpah anak mereka yaitu ikut tenggelam dari dampak amblesnya tanah.
[1] Nawawi, Munir,Chuzaimi. Biografi kyai achmad
aruqot dan sejarah berdirinya pondok
Pesantren Roudlotul
Mutaalimin-Muta’alimat, kedung cangkring-jabon-sidoarjo

